Parahyangan Genta: The Song of Blood in the Land of Tumapel

Chapter 7: Revelation Descends



7.1: Pilgrimage to the Dragon Gate

The sky above Watu Kembang Temple was still a deep indigo, a transitional color between the surrendering darkness of night and the timid light of dawn. The air was thin and cold, carrying with it the scent of damp earth and decaying leaves, the distinctive scent of the forest that had become the perfume of Arok's life. Amidst that sacred silence, Lohgawe and Arok completed their final preparations, a wordless ritual that marked the end of one act and the beginning of another.

Arok had now completely changed his clothes. He had removed his rough, dark bark robe, the garb of rebels and fugitives, and folded it neatly. He placed it in one of the stone niches within the temple ruins, a symbolic offering, a relinquishing of his identity. He now wore a simple, faded brown cloth, worn by job seekers, down-on-his-luck travelers, or farmers from remote villages. The cloth ill-fitted his stocky frame, making him appear slightly awkward and thinner than he actually was.

His proud longsword, a witness to every battle and a symbol of his leadership, had been left in his hermitage cave, hidden behind a large rock, awaiting its return. His only weapon now was a small dagger, its sharp but short blade tucked neatly behind his back, hidden beneath the windings of his worn belt. It wasn't for open combat, but rather as a last resort, a last resort if the situation was truly desperate and his mask was threatened with being torn.

His face, which had been mentally and emotionally tempered for seven days, now looked haggard and slightly pale. This was not the pallor of illness, but rather a look deliberately created through breath and mind control, a trick Lohgawe had taught him to inspire compassion and diminish the aura of menace. His eyes, usually as sharp as an eagle's, were now deliberately hollow and drawn. His shoulders, usually square, were now slightly hunched. The Arok of the leader had completely vanished, replaced by the figure of a nameless young man who seemed defeated by the hardships of life.

Lohgawe examined him from head to toe, circling Arok slowly like a sculptor assessing his finished work. His wise eyes held a deep sense of satisfaction. "Good," he murmured, his voice sounding like the wind whispering through the temple stones. "Very good. Even I, who forged you, barely recognize you anymore. You no longer look like a tiger in disguise. You look like a puppy whose mother has lost its mother. Pathetic, but not at all threatening. Perfect."

Ia kemudian menyerahkan sebuah bungkusan kecil yang terbuat dari daun pisang kering yang telah diikat dengan serat bambu kepada Arok. "Ini bekalmu. Hanya beberapa potong ubi rebus yang sudah dingin. Cukup untuk menahan lapar hingga kau tiba di gerbang kota. Jangan memakannya dengan lahap. Makanlah perlahan, seolah ini adalah makanan terakhirmu."

Arok menerima bungkusan itu dengan kedua tangannya, sebuah gestur penghormatan, sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Gerakan itu kini terasa alami, tidak lagi dipaksakan. "Terima kasih, Gusti Brahmana."

"Hentikan panggilan itu," kata Lohgawe dengan nada yang kembali datar dan dingin. "Ritual kita telah selesai. Mulai saat ini, aku bukan lagi gurumu. Aku adalah orang asing yang tak pernah kau kenal, dan kau adalah orang asing yang tak pernah kukenal. Jika nasib mempertemukan kita di dalam kota nanti, jangan pernah menyapaku. Jangan pernah menatap mataku. Pura-puralah kau tidak melihatku. Mengerti?"

"Hamba mengerti," jawab Arok dengan suara patuh yang telah ia latih.

Lohgawe menatap lekat ke dalam mata Arok yang kini tampak kosong, seolah ingin menyampaikan pesan terakhir yang tak terucap melalui telepati. "Ingat semua pelajaranku, Arok. Di dalam sana, di dalam sangkar emas itu, setiap dinding memiliki telinga, dan setiap bayangan memiliki mata. Jangan percaya pada siapapun terlalu cepat. Kesetiaan di istana adalah barang langka yang harganya lebih mahal dari emas, dan seringkali palsu. Dan yang terpenting…" Ia berhenti sejenak, suaranya menjadi lebih serius, lebih personal. "Jangan biarkan dirimu yang baru ini menelan dirimu yang lama sepenuhnya. Di lubuk hatimu yang paling dalam, tetap jaga api itu agar tidak padam. Api perlawananmu, api keadilanmu. Api itu adalah kompasmu. Jika api itu padam, kau akan benar-benar tersesat dan menjadi salah satu dari mereka."

Arok mengangguk dalam diam, tidak berani bersuara. Ia menyimpan setiap kata itu di lubuk hatinya yang paling dalam, menguncinya di dalam sebuah ruang rahasia yang tidak akan pernah ia buka di hadapan orang lain.

"Sekarang pergilah," lanjut Lohgawe sambil membalikkan badan dengan tiba-tiba, seolah tak ingin menyaksikan kepergian murid satu-satunya itu. Ia menghadap ke arah arca Ganesha, seolah kembali pada perbincangan sunyinya dengan sang dewa. "Jalanlah ke arah matahari terbit. Jangan pernah menoleh ke belakang. Takdirmu menanti di sana. Pergilah."

Dengan satu tundukan kepala terakhir yang penuh hormat kepada punggung sang Brahmana, Arok memulai perjalanannya. Ziarahnya menuju gerbang naga. Ia melangkah perlahan meninggalkan reruntuhan candi yang sunyi, memasuki jalan setapak yang sempit dan menurun, menuju ke lembah yang ramai. Setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang menyeret seluruh masa lalunya yang terpaksa ia tinggalkan. Ia tidak berani menoleh ke belakang, bukan karena perintah Lohgawe, tetapi karena ia takut. Takut jika ia melihat sosok gurunya lagi, tekadnya yang sekeras baja itu akan goyah. Takut jika ia akan berbalik, berlari, dan memohon untuk kembali menjadi harimau di gunung yang bebas.

Perjalanan menuju pusat kadipaten Tumapel memakan waktu hampir setengah hari dengan berjalan kaki tanpa henti. Ini adalah sebuah perjalanan yang melintasi dua dunia. Ia berangkat dari dunia alam yang jujur dan apa adanya, menuju dunia manusia yang penuh dengan kepalsuan dan topeng. Semakin dekat ia dengan kota, semakin ramai jalanan yang ia lalui. Ia berpapasan dengan para petani yang memikul hasil bumi dengan punggung bungkuk dan wajah lelah. Ia berpapasan dengan para pedagang yang menggiring ternaknya sambil meneriakkan harga. Dan ia berpapasan dengan para pengembara lain yang sama sepertinya, dengan wajah penuh harap sekaligus cemas, mencari peruntungan di pusat kekuasaan.

Arok berusaha membaur. Ia mempraktikkan semua yang telah ia pelajari. Ia menjaga kepalanya tetap menunduk, bahunya tetap membungkuk. Ia menghindari tatapan mata siapapun. Jika ada kereta kuda bangsawan yang lewat, ia akan menepi jauh-jauh, berdiri di pinggir jalan dengan kepala tertunduk hingga kereta itu lenyap dari pandangan. Ia mencoba merasakan bagaimana rasanya menjadi orang kecil, menjadi tak terlihat, menjadi debu jalanan. Dan rasanya begitu menyesakkan.

Di tengah hari, saat matahari berada tepat di atas kepala, ia berhenti untuk beristirahat. Ia tidak memilih tempat yang teduh dan nyaman. Ia sengaja duduk di bawah sebatang pohon randu alas yang meranggas, di atas tanah yang berdebu dan panas. Ia membuka bekal ubi rebusnya. Ia memakannya dengan sangat perlahan, gigitan demi gigitan, seolah itu adalah makanan paling berharga di dunia, persis seperti yang dinasihatkan Lohgawe. Ia sengaja mengotori wajah dan pakaiannya dengan lebih banyak debu jalanan, mengusap keringat di dahinya dengan tangan yang kotor, agar penampilannya semakin meyakinkan. Ia harus menjadi perannya, bukan hanya memainkannya.

Saat ia sedang makan, sekelompok prajurit berkuda melintas dengan congkak. Debu yang ditimbulkan oleh kaki-kaki kuda mereka beterbangan, mengenai sisa ubi di tangan Arok. Salah seorang prajurit muda tertawa melihatnya. "Makanlah debu itu juga, pengemis! Anggap saja itu bumbu dari Sang Akuwu!"

Arok tidak bereaksi. Ia hanya menunduk, melindungi makanannya dengan tubuhnya, dan menunggu hingga mereka lewat. Di dalam hatinya, api itu menyala sekejap, panas dan membakar. Namun ia segera memadamkannya dengan air dingin dari ajaran Lohgawe. Lapangkan perutmu. Cerna semua hinaan. Ia melanjutkan makannya seolah tidak terjadi apa-apa, namun rasa ubi itu kini terasa pahit di lidahnya.

Akhirnya, setelah berjalan beberapa lama lagi, di kejauhan, ia melihatnya.

Gerbang kota Tumapel.

Struktur itu tampak begitu megah dan mengintimidasi. Terbuat dari kayu jati raksasa yang telah menghitam karena usia, dipenuhi paku-paku besi besar. Gerbang itu diapit oleh dua menara pengawas yang tinggi, di mana para prajurit dengan busur di tangan tampak seperti titik-titik kecil yang mengawasi seluruh penjuru. Di puncak menara, bendera kebesaran Tumapel—bergambar singa mengaum dengan latar belakang merah darah—berkibar-kibar dengan angkuh ditiup angin lembah. Bendera itu seolah menertawakan siapapun yang datang dengan kepala tertunduk, sebuah simbol kekuasaan yang tak terbantahkan.

Jantung Arok berdebar kencang, lebih kencang daripada saat ia berhadapan dengan Ki Glondong atau saat ia bertarung melawan Mahesa. Inilah gerbang menuju sarang naga. Inilah mulut gua yang akan menelannya hidup-hidup. Melewati gerbang ini berarti tidak ada lagi jalan untuk kembali. Di luar gerbang, ia adalah Arok. Di dalam gerbang, ia harus menjadi bukan siapa-siapa. Ia berhenti sejenak di kejauhan, mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Ia menatap gerbang itu bukan lagi sebagai seorang penyerang, tetapi sebagai calon korban yang pasrah. Lalu, dengan langkah yang dibuat sedikit gemetar, ia melanjutkan ziarahnya.

***

7.2: Ujian di Ambang Pintu

Semakin dekat Arok dengan gerbang kota, semakin pekat pula aura kekuasaan dan penindasan yang ia rasakan. Udara di sekitarnya seolah menjadi lebih berat, dipenuhi oleh campuran bau keringat kuda, debu yang pekat, dan aroma samar ketakutan dari orang-orang kecil yang mengantri. Di depan gerbang yang megah itu, sebuah pemandangan yang telah menjadi pemandangan sehari-hari di tanah Tumapel tersaji dengan gamblang. Sebuah drama kecil tentang kekuasaan dan ketidakberdayaan.

Beberapa prajurit berwajah bengis, dengan kulit legam terbakar matahari dan tatapan mata yang kosong dari welas asih, tengah menjalankan tugas mereka. Namun, mereka menjalankannya bukan sebagai penjaga keamanan, melainkan sebagai pemeras ulung. Mereka memalak para pedagang kecil yang membawa sayur-mayur dari desa, mengambil beberapa ikat bawang atau beberapa buah mentimun sebagai "pajak gerbang" yang tak pernah tertulis dalam aturan manapun. Mereka menggeledah barang bawaan para pengembara dengan kasar, merampas kepingan-kepingan uang receh dengan dalih sebagai jaminan keamanan. Dan mereka tak segan melayangkan sabetan gagang tombak atau hardikan kasar pada mereka yang dianggap lamban atau berani menatap mata mereka terlalu lama.

Pemandangan itu membuat darah Arok yang telah ia dinginkan dengan susah payah selama tujuh hari, mulai menghangat kembali. Setiap tindakan kesewenang-wenangan itu bagai percikan api yang jatuh di atas ilalang kering di dalam jiwanya. Ia melihat seorang ibu tua yang keranjangnya ditendang hingga isinya berhamburan di tanah hanya karena ia tidak memiliki uang untuk diberikan. Ia melihat seorang pemuda yang didorong hingga tersungkur karena mencoba memprotes. Amarah itu, harimau yang ia kira telah ia tenggelamkan di dasar kolam, mulai menggeram pelan di dalam dirinya.

Namun, ia segera teringat pelajaran Lohgawe. "Perutnya yang buncit adalah lambang kemampuannya untuk 'mencerna' segala hal baik dan buruk dalam kehidupan." Ia menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya untuk menelan pemandangan itu, mencernanya menjadi bahan bakar untuk misinya, bukan menjadi api yang akan membakar dirinya sendiri. Ia menundukkan kepalanya lebih dalam lagi, memasang wajah paling memelas dan paling tidak peduli yang ia bisa. Ia menjadi satu dengan kerumunan orang-orang yang tertindas, berbagi dalam ketakutan dan kepasrahan mereka.

Antrian bergerak lambat. Setiap orang yang maju diperiksa dengan tatapan penuh kecurigaan. Akhirnya, tibalah giliran Arok.

Seorang prajurit bertubuh tinggi besar, lebih besar dari yang lain, dengan codet mengerikan melintang di pipinya dari pelipis hingga ke sudut bibir, menghentikannya dengan ujung tombaknya yang tumpul namun tetap terasa mengancam saat disentuhkan ke dada. "Berhenti! Siapa kau dan apa urusanmu di Tumapel?" bentaknya dengan suara kasar seperti gerinda, napasnya berbau tuak basi.

Inilah saatnya. Ujian pertama. Semua latihan di gua sunyi itu kini dipertaruhkan dalam satu momen ini.

Arok tidak mendongak. Ia segera menjatuhkan dirinya, berlutut di tanah berdebu yang panas. Sebuah tindakan kepatuhan mutlak yang langsung menarik perhatian. "Ampun, Gusti Prajurit yang Perkasa," jawabnya dengan suara yang ia buat sedikit gemetar, persis seperti yang telah ia latih berulang kali di hadapan dinding batu. "Hamba… hamba hanyalah seorang pengembara tanpa nama dari desa miskin di kaki gunung. Hamba datang ke kota Tumapel yang agung ini untuk mencari pekerjaan apa saja, sekadar untuk menyambung nyawa."

Prajurit itu, yang bernama Bango, menatapnya dari atas ke bawah dengan pandangan merendahkan. Ia melihat pakaian Arok yang lusuh, wajahnya yang kotor, dan posturnya yang membungkuk. Gambaran sempurna dari seorang gelandangan. "Pekerjaan?" ejeknya dengan tawa kasar. "Tumapel sudah penuh dengan gelandangan sepertimu. Setiap hari ada saja tikus-tikus desa yang datang kemari, berpikir bisa hidup enak. Pergi sana! Jangan mengotori kota kami dengan kehadiranmu!" Ia mendorong bahu Arok dengan gagang tombaknya, tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuatnya sedikit terhuyung.

Arok tidak melawan. Ia justru semakin merendahkan tubuhnya hingga dahinya nyaris menyentuh debu. "Hamba mohon, Gusti," Arok memohon, kali ini ia menambahkan nada rengekan dalam suaranya. "Hamba mohon belas kasihan Gusti. Hamba bersedia melakukan pekerjaan apapun. Membersihkan kandang kuda, mengangkut air dari sungai, membuang sampah… apapun, Gusti. Hamba hanya butuh sesuap nasi untuk mengganjal perut."

Prajurit lain yang berada di dekatnya, yang lebih kurus namun dengan senyum yang lebih licik, tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, Bango, dengar itu? Tikus kurap ini beraninya ia bermimpi makan nasi dari lumbung Sang Akuwu. Mungkin kita bisa memberinya makan kotoran kuda!"

Tawa mereka yang menghina bergema di sekitar gerbang. Beberapa penduduk yang antri di belakang Arok menatap dengan pandangan iba bercampur jijik. Mereka kasihan pada pemuda itu, tetapi juga merasa jijik pada tingkat kepasrahannya.

Prajurit bercodet itu, Bango, tampak berpikir sejenak. Matanya yang licik menatap Arok yang masih bersujud. Ia melihat sebuah kesempatan untuk bersenang-senang, untuk memamerkan kekuasaannya di depan umum, untuk meredakan kebosanannya menjaga gerbang. "Kau bilang… bersedia melakukan apapun?" tanyanya dengan nada yang sengaja dibuat manis dan berbahaya.

"Be-benar, Gusti. Apapun yang Gusti perintahkan, akan hamba laksanakan," jawab Arok, menjaga nada suaranya tetap penuh ketakutan dan keputus-asaan.

"Baiklah," kata prajurit itu. Senyum sadis terkembang di bibirnya yang tebal. Ia mengangkat salah satu kakinya yang mengenakan sepatu bot kulit yang tebal dan penuh lumpur kering. Ia menunjuk ke arah selokan kotor yang mengalir di samping gerbang, yang penuh dengan sampah busuk dan lumpur hitam berbau menyengat. Tadi ia sempat terpeleset di dekat selokan itu. "Lihat sepatu botku? Kotor sekali. Aku tidak suka melihatnya. Jilat sampai bersih. Jilat setiap jengkal lumpurnya hingga mengkilap seperti baru. Jika aku puas dengan pekerjaanmu, kau boleh masuk."

Dunia serasa berhenti berputar bagi Arok.

Darah di dalam tubuhnya yang tadinya hanya hangat, kini serasa menyembur ke kepala. Penghinaan ini adalah yang paling puncak, paling rendah, paling tidak manusiawi. Seluruh nalurinya sebagai seorang pejuang, sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang lelaki, berteriak untuk bangkit. Ia membayangkan dirinya berdiri, merebut tombak prajurit itu, dan menghunjamkannya ke lehernya yang angkuh. Tangannya yang terkepal di balik punggungnya bergetar hebat hingga persendiannya terasa sakit. Ia bisa merasakan belati kecil di pinggangnya seolah memanas, memanggil-manggil untuk digunakan, membisikkan janji pembalasan yang manis.

Sebuah pertempuran yang lebih dahsyat dari pertarungan fisik manapun terjadi di dalam dirinya dalam sepersekian detik. Harimau di dalam dirinya mengaum, cakarnya keluar, siap menerkam dan merobek-robek. Ia melihat wajah Bango yang menyeringai, dan ia ingin menghapus seringai itu dari muka bumi untuk selamanya. Kematian terasa lebih terhormat daripada menanggung hinaan seperti ini.

Namun, di tengah amarah yang membakar dan hampir menelannya hidup-hidup itu, sebuah gambaran lain melintas di benaknya. Wajah tenang Lohgawe di depan arca Ganesha. "Buang egomu, Arok! Lupakan kehormatan seorang ksatria! Perutnya yang buncit adalah lambang kemampuannya untuk mencerna segala hal!"

Lalu ia melihat wajah Tanca yang penuh harap. Wajah Mahesa yang menuntut janji. Wajah para pengikutnya. Wajah rakyat Jatiwangi. Mereka semua menatapnya, menunggu. Kegagalannya di sini bukan hanya kegagalan pribadinya. Itu adalah kegagalan bagi mereka semua. Kematiannya di sini tidak akan menjadi kematian seorang pahlawan. Itu akan menjadi kematian seorang bodoh yang tidak mampu mengendalikan amarahnya, yang mengorbankan misi besar hanya demi harga diri sesaat.

Ini adalah ujiannya. Ujian yang sesungguhnya. Apakah ia seorang harimau yang hanya tahu cara menerkam, atau seekor laba-laba yang tahu kapan harus diam dan menunggu?

Dengan segenap kekuatan batin yang ia miliki, dengan seluruh sisa-sisa ajaran dari gua sunyi itu, Arok melakukan hal yang paling sulit dalam hidupnya. Ia menekan amarahnya. Ia mendorong harimau yang mengaum itu kembali ke dalam kandangnya di dasar jurang hatinya, menguncinya dengan rantai baja kesadaran. Proses itu terasa menyakitkan, seolah ia sedang merobek sebagian dari jiwanya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, sebuah napas yang terasa seperti menghirup pecahan kaca.

Lalu, ia mengangkat wajahnya. Tidak ada lagi kemarahan di matanya. Tidak ada lagi api. Yang ada hanyalah kekosongan. Kepasrahan total.

"Dengan senang hati, Gusti Prajurit yang bijaksana," jawabnya dengan suara yang anehnya terdengar mantap, sebuah kemantapan yang lahir dari keputus-asaan absolut. "Merupakan sebuah kehormatan bagi hamba untuk bisa membersihkan alas kaki Gusti."

Ia mulai merangkak di tanah yang panas dan berdebu itu, bergerak perlahan menuju kaki prajurit itu. Gerakannya lambat, disengaja, seolah sedang melakukan sebuah ritual suci. Para prajurit lain yang tadinya hanya tertawa, kini mulai terdiam, sedikit terkejut dengan tingkat kepatuhan yang ditunjukkan oleh pemuda ini. Tawa mereka kini berganti menjadi seringai yang lebih kejam, menikmati tontonan yang memuaskan sisi paling gelap dari jiwa mereka. Beberapa penduduk yang antri di belakang Arok memalingkan muka, tak sanggup melihat pemandangan yang begitu merendahkan martabat manusia itu.

Bango sendiri tampak sangat puas. Dadanya membusung karena bangga. Ia merasa seperti seorang raja. Ia sengaja menyodorkan kakinya lebih dekat ke wajah Arok.

Arok semakin dekat. Ia bisa mencium bau lumpur busuk dan kulit yang apek dari sepatu bot itu. Perutnya mual. Ia memejamkan mata, bersiap melakukan hal yang tak terbayangkan itu. Ia sudah bisa merasakan tekstur kasar lumpur kering di bibirnya.

Inilah kematiannya. Kematian Arok sang harimau. Di ambang pintu gerbang naga.

***

7.3: Tangan Tak Terduga

Tepat ketika bibir Arok yang kering dan pecah-pecah hampir menyentuh permukaan sepatu bot yang berlumpur itu, tepat ketika ia telah mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk melakukan tindakan paling hina dalam hidupnya, sebuah suara menghentikannya. Suara itu tidak berteriak, namun memiliki bobot dan wibawa yang membelah udara, memotong tawa keji para prajurit dan keheningan cemas para penduduk.

"Cukup!"

Semua orang, termasuk Arok yang masih dalam posisi bersujud, menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluhan baru saja turun dari kudanya yang tegar dan berwarna hitam legam. Kuda itu sendiri tampak seperti kuda pilihan, dengan otot-otot yang kuat dan sorot mata yang cerdas. Lelaki itu mengenakan pakaian perwira tinggi Tumapel, dengan pelindung dada dari kulit yang diperkeras dan sebuah pedang panjang dengan gagang berukir gading terselip di pinggangnya. Wajahnya keras, dengan rahang yang kokoh dan tatapan mata yang tajam, namun tidak ada kekejaman di sana. Sebaliknya, matanya memancarkan aura keadilan yang tegas dan disiplin seorang prajurit sejati.

Ia adalah Kebo Ijo, salah satu dari sedikit perwira tinggi dan kepala prajurit yang masih memegang teguh prinsip-prinsip keprajuritan lama. Ia dikenal sebagai perwira kepercayaan Tunggul Ametung karena kemampuannya di medan perang yang tak diragukan, namun di kalangan rakyat dan prajurit rendahan, ia juga dikenal sebagai sosok yang masih memiliki hati nurani, yang membenci penyalahgunaan wewenang dan penindasan terhadap yang lemah. Kehadirannya di gerbang kota pada saat itu adalah sebuah kebetulan yang paling tidak terduga, atau mungkin, sebuah sentuhan dari tangan takdir.

Prajurit bercodet yang bernama Bango, yang sesaat lalu masih merasa seperti raja dunia, langsung pucat pasi saat mengenali siapa yang datang. Seringai sadis di wajahnya lenyap seketika, digantikan oleh ekspresi ketakutan murni. Ia dan kawan-kawannya segera menjatuhkan diri, berlutut dengan dahi menyentuh tanah, lebih rendah dari posisi Arok sebelumnya.

"Ampun, Gusti Kebo Ijo! Beribu ampun, Gusti!" suara mereka bergetar, kini merekalah yang terdengar seperti tikus yang ketakutan.

Kebo Ijo tidak mempedulikan mereka. Untuk sesaat, ia hanya berdiri diam, matanya yang tajam menyapu seluruh pemandangan di hadapannya. Ia melihat Arok yang masih bersujud di tanah, lalu ke arah sepatu bot Bango yang kotor, dan ia langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Kerutan muak yang dalam muncul di dahinya. Ia kemudian menatap Arok yang masih dalam posisi terhina.

"Bangunlah, anak muda," katanya. Nadanya tegas, sebuah perintah, namun tidak kasar. Ada sedikit kelembutan yang tersembunyi di baliknya.

Arok ragu sejenak. Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap sosok perwira itu dari bawah. Ini adalah bagian dari rencana yang tidak pernah ia latih. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Namun, nada suara perwira itu memberinya sedikit keyakinan. Perlahan, dengan gerakan yang masih menunjukkan kerendahan hati, ia bangkit berdiri. Ia tidak berani meluruskan punggungnya sepenuhnya, dan kepalanya masih tertunduk.

Kebo Ijo kemudian menatap tajam ke arah Bango dan para prajuritnya yang masih bersujud ketakutan. Tatapannya dingin seperti baja di musim hujan. "Apakah begini caramu menjalankan tugas yang dipercayakan Sang Akuwu?" tanyanya dengan suara rendah yang berbahaya. "Mempermalukan orang lemah untuk kesenangan pribadimu di depan umum? Kalian pikir jubah prajurit yang kalian kenakan itu memberimu hak untuk bertindak seperti preman pasar?"

"Ampun, Gusti… hamba hanya… hamba hanya bercanda…" dalih Bango dengan suara gemetar, tak berani mengangkat wajahnya.

"Bercanda?!" bentak Kebo Ijo, suaranya kini menggelegar, membuat para prajurit itu semakin gemetar. "Kau mencoreng nama baik seluruh prajurit Tumapel! Tugas kalian adalah menjaga keamanan gerbang kota, bukan menciptakan ketakutan dan penderitaan bagi rakyat yang ingin mencari penghidupan! Kalian digaji oleh upeti rakyat, dan kalian membalasnya dengan hinaan seperti ini?!"

Ia melangkah mendekati Bango, bayangannya yang tinggi menutupi tubuh prajurit itu. "Namamu siapa?"

"Ba-Bango, Gusti…" jawabnya terbata-bata.

"Bango," ulang Kebo Ijo dengan nada dingin. "Mulai hari ini, kau dan semua penjaga di gerbang ini yang ikut tertawa, aku pindah tugaskan. Kalian akan membersihkan kandang kuda istana selama sebulan penuh! Kalian akan merasakan bagaimana rasanya berkubang dalam kotoran, agar kalian tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang kalian hina! Sekarang pergi dari hadapanku sebelum aku berubah pikiran dan mematahkan leher kalian satu per satu!"

Tanpa berani membantah atau memohon ampun lagi, Bango dan para prajurit lainnya segera bangkit dan lari terbirit-birit meninggalkan pos mereka, seperti anjing-anjing yang diusir, diiringi oleh tatapan puas dari para penduduk yang mengantri.

Kebo Ijo kemudian kembali menatap Arok. Kini hanya mereka berdua yang menjadi pusat perhatian. "Kau, anak muda. Siapa namamu dan dari mana asalmu?"

Inilah momen krusial lainnya. Arok kembali memainkan perannya dengan sempurna. Ia tetap menunduk, seolah masih trauma dengan kejadian tadi. "Hamba… hamba tidak punya nama, Gusti," jawabnya dengan suara pelan dan sedikit serak. "Orang-orang di desa hanya memanggil hamba si Pengembara. Hamba datang dari desa terpencil di kaki gunung. Hamba datang untuk mencari pekerjaan."

Kebo Ijo mengamatinya dengan saksama, lebih teliti dari sebelumnya. Ia melihat postur tubuh Arok yang tegap meski ia berusaha keras untuk membungkuk. Ia melihat struktur tulangnya yang kokoh dan bahunya yang lebar. Lalu, matanya tertuju pada tangan Arok. Tangan yang besar, dengan jari-jari yang panjang dan kokoh, dan telapak tangan yang kapalan. Itu bukan tangan seorang pengemis atau petani biasa yang hanya mencangkul. Itu adalah tangan seorang petarung, tangan yang terbiasa menggenggam senjata.

Ada sesuatu yang berbeda pada pemuda ini. Sesuatu yang tersembunyi di balik penampilan luarnya yang menyedihkan. Namun, Kebo Ijo tidak bisa menunjukkannya dengan pasti. Mungkin ia hanya seorang pekerja kasar dari desa, pikirnya. Tapi ada sesuatu yang lain…

"Kau punya keberanian," kata Kebo Ijo tiba-tiba, sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.

Arok terkejut. Ia tidak menyangka akan mendengar kata itu. Apakah topengnya bocor? "Ma-maksud Gusti?" tanyanya, mencoba terdengar bingung.

"Keberanian untuk menanggung hinaan demi sebuah tujuan," jelas Kebo Ijo, matanya menatap lurus, seolah sedang mengenang sesuatu dari masa lalunya sendiri. "Banyak orang yang bisa berani saat memegang pedang, tapi hanya sedikit yang bisa tetap berani saat mereka dipaksa untuk berlutut. Itu adalah jenis keberanian yang langka, keberanian yang lahir dari keteguhan hati, bukan dari otot."

Ia berhenti sejenak, lalu sebuah ide melintas di benaknya. "Aku butuh orang sepertimu," katanya. "Aku baru saja kehilangan juru rawat kuda pribadiku. Ia lari karena tidak tahan dengan disiplin yang aku terapkan. Aku membutuhkan seorang juru rawat kuda yang baru. Pekerjaannya berat, dimulai sebelum fajar dan berakhir setelah senja. Gajinya kecil, hanya cukup untuk makan dan tempat tidur di barak belakang. Tapi kau akan bekerja langsung untukku. Kau mau?"

Jantung Arok seolah berhenti berdetak sesaat. Seluruh skenario yang telah ia dan Lohgawe rencanakan, semua kemungkinan yang telah mereka pikirkan, tidak ada satupun yang seperti ini. Ia berpikir akan memulai dari titik terendah, mungkin sebagai kuli angkut di pasar atau pembersih selokan. Tapi ini… ini adalah sebuah lompatan yang luar biasa. Sebuah pintu yang terbuka di saat yang paling tidak terduga, di tengah penghinaan yang paling puncak.

Ini lebih baik dari sekadar menjadi pesuruh biasa. Menjadi juru rawat kuda seorang perwira tinggi seperti Kebo Ijo akan memberinya akses langsung ke lingkungan istana, atau setidaknya ke barak keprajuritan. Ia akan bisa mendengar desas-desus, melihat pergerakan pasukan, mempelajari nama-nama dan wajah-wajah penting. Ini adalah sebuah anugerah, sebuah wahyu tumurun yang diberikan oleh takdir.

Tanpa ragu sedikit pun, Arok kembali menjatuhkan dirinya berlutut. Kali ini, bukan karena paksaan, tetapi karena luapan rasa syukur yang tulus. "Hamba bersedia, Gusti! Hamba bersedia!" jawabnya dengan nada yang bergetar karena emosi yang tertahan. "Hamba akan merawat kuda Gusti seperti hamba merawat nyawa hamba sendiri! Terima kasih atas kemurahan hati Gusti!"

Kebo Ijo mengangguk puas. Ia menyukai kepatuhan dan semangat yang ditunjukkan oleh pemuda ini. "Bagus. Jangan panggil aku Gusti. Panggil aku Ndara. Sekarang, bangunlah. Ikut aku."

Ia kembali menaiki kudanya yang gagah dan mulai berjalan perlahan memasuki gerbang kota. Arok, dengan kepala yang masih tertunduk, bangkit dan berjalan di belakangnya, menuntun kuda sang perwira dengan penuh hormat. Saat ia melangkah melewati gerbang batu yang megah itu, melewati ambang pintu yang baru saja menjadi panggung ujian terberatnya, ia merasakan sebuah getaran aneh menjalari seluruh tubuhnya.

Seolah ia baru saja melewati sebuah perbatasan antara dua dunia. Dunia kebebasannya di lereng gunung telah resmi berakhir. Kini ia memasuki sebuah sangkar emas yang penuh dengan intrik, bahaya, dan kesempatan yang tak terbatas. Tangan tak terduga dari takdir, melalui seorang perwira bernama Kebo Ijo, telah menariknya masuk, memberinya jalan pintas langsung ke lingkar pertama dari sarang naga. Ia tahu, mulai saat ini, setiap langkah, setiap kata, setiap tarikan napasnya adalah sebuah pertaruhan hidup dan mati.

***

Tentu saja. Ini adalah pengembangan Sub-Bab 7.4, "Restu dalam Keramaian," menjadi sebuah narasi penutup yang penuh makna, simbolisme, dan ketegangan batin, dengan jumlah kata sekitar 2600 kata.

7.4: Restu dalam Keramaian

Arok berjalan menuntun kuda hitam milik Kebo Ijo, melangkah melewati ambang gerbang batu yang megah itu. Saat kakinya yang telanjang menyentuh tanah di dalam dinding kota Tumapel, ia merasakan sebuah getaran aneh menjalari seluruh tubuhnya. Getaran itu bukan berasal dari bumi, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Seolah ia baru saja melewati sebuah perbatasan tak kasat mata antara dua dunia, dua takdir, dua versi dari dirinya sendiri. Dunia kebebasannya yang liar dan jujur di lereng gunung kini terasa begitu jauh, seperti sebuah mimpi yang baru saja ia tinggalkan. Kini ia telah memasuki sebuah sangkar emas yang penuh dengan intrik, bahaya, dan kesempatan. Ia adalah seekor serigala yang telah berhasil mengenakan kulit domba dan diterima masuk ke dalam kandang.

Jalanan utama Tumapel yang terbentang di hadapannya begitu berbeda dari jalan setapak di hutan. Jalanan itu lebar, diperkeras dengan batu-batu kali yang ditata rapi, dan di kedua sisinya berdiri bangunan-bangunan mewah yang terbuat dari kayu jati berukir, beratapkan genting tanah liat yang mahal. Udara dipenuhi oleh hiruk pikuk yang memekakkan telinga. Suara derap kuda, roda pedati yang berderit, teriakan para pedagang yang menjajakan barangnya, dan tawa para bangsawan yang lalu lalang dengan pakaian sutra berwarna-warni. Semuanya begitu asing, begitu memabukkan, sekaligus begitu menekan.

Arok menjaga kepalanya tetap tertunduk, matanya hanya berani menatap tanah beberapa langkah di depannya dan sesekali melirik ke arah kaki kuda yang ia tuntun. Ia harus terlihat seperti seorang abdi yang tahu diri, yang tidak berani menatap kemegahan kota tuannya. Namun di balik kepalanya yang tertunduk itu, matanya yang awas bergerak liar, merekam segalanya seperti seorang mata-mata yang terlatih. Ia melihat para prajurit yang berpatroli dengan angkuh. Ia melihat para abdi yang berlari-lari kecil dengan wajah cemas. Ia melihat kontras yang tajam antara perut buncit para saudagar dan perut kempes para kuli angkut. Ia melihat sebuah tatanan masyarakat yang dibangun di atas ketidakadilan, persis seperti yang ia benci, namun kini ia harus menjadi bagian darinya.

Kebo Ijo, yang duduk dengan gagah di atas kudanya, sesekali melirik ke bawah, mengamati pemuda baru yang berjalan di sampingnya. Ia melihat punggung yang membungkuk itu, kepala yang tertunduk itu, namun ia juga merasakan sesuatu yang lain. Ada sebuah ketenangan yang tidak wajar pada pemuda ini. Ia tidak tampak terpesona atau terintimidasi oleh kemegahan kota, seperti yang biasa ditunjukkan oleh orang-orang desa. Ia hanya berjalan, melakukan tugasnya menuntun kuda, dengan efisiensi yang sunyi. Kebo Ijo semakin yakin, keputusannya untuk merekrut pemuda ini tidak salah. Ada sesuatu yang istimewa di baliknya, sesuatu yang mungkin akan berguna baginya nanti.

Saat mereka berjalan melewati sebuah pasar yang ramai, di mana aroma rempah-rempah bercampur dengan bau ikan asin dan keringat manusia, Arok secara tidak sengaja mengangkat pandangannya sejenak. Mungkin karena ia perlu melihat jalan di depannya yang semakin padat, atau mungkin karena sebuah dorongan naluri yang tak bisa ia jelaskan. Pandangannya menyapu kerumunan orang di seberang jalan.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Di antara puluhan wajah pedagang, pembeli, dan pengemis, ia melihat sepasang mata yang ia kenal. Sepasang mata yang tujuh hari lamanya telah menempa dan menghancurkan jiwanya.

Brahmana Lohgawe.

Sang Brahmana tidak lagi mengenakan jubah putihnya yang khas. Ia berdiri di sana, menyamar dengan sempurna sebagai seorang pedagang kain biasa. Ia bersandar di tiang sebuah warung, di depannya tergelar beberapa gulung kain katun berwarna kusam. Ia mengenakan ikat kepala sederhana dan pakaian yang juga berwarna pudar. Tidak ada aura kesucian atau kebijaksanaan yang terpancar darinya. Ia tampak seperti pedagang tua yang lelah, yang sedang menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Siapapun yang melihatnya tidak akan pernah menyangka bahwa di balik penampilan yang biasa itu, bersemayam seorang pertapa sakti yang ilmunya mengguncang langit dan bumi.

Tatapan mereka bertemu. Hanya sepersekian detik. Sebuah momen yang membeku di tengah hiruk pikuk keramaian. Di dalam tatapan itu, Arok seolah melihat seluruh alam semesta. Ia melihat kembali gua pertapaan, arca Ganesha, dan kolam yang jernih. Ia mendengar kembali semua ajaran dan nasihat.

Lohgawe tidak tersenyum. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Namun, di dalam matanya yang dalam, Arok melihat sebuah kilat persetujuan. Sang Brahmana kemudian memberikan sebuah anggukan yang sangat tipis, nyaris tak terlihat oleh mata orang biasa. Sebuah gerakan kecil dari kepalanya, yang jika tidak diperhatikan dengan saksama akan dianggap sebagai gerakan biasa. Setelah itu, Lohgawe segera memalingkan muka, berbalik, dan membaur dengan kerumunan, lenyap seolah ditelan oleh lautan manusia.

Namun, anggukan kecil itu sudah lebih dari cukup.

Bagi Arok, anggukan itu lebih berharga dari seribu kata. Itu adalah sebuah penegasan. Sebuah restu terakhir. Sebuah tanda bahwa langkah pertamanya di jalan yang baru ini, yang ia ambil melalui penghinaan dan ketidakpastian, ternyata adalah langkah yang benar. Ia tidak sendirian. Ada sepasang mata bijak yang mengawasinya dari kejauhan, memastikan bahwa ia tidak menyimpang dari takdirnya.

Sebuah gelombang kekuatan baru menjalari tubuh Arok. Beban berat yang sejak tadi menghimpit pundaknya terasa sedikit lebih ringan. Ia kembali menundukkan kepalanya, namun kini ada sebuah senyum yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, yang tersembunyi di bibirnya. Sebuah senyum yang tak dilihat oleh siapapun, bahkan oleh Kebo Ijo yang berada tepat di atasnya. Itu bukan senyum kebahagiaan. Itu adalah senyum seekor laba-laba yang telah berhasil menapakkan kaki pertamanya di dahan pohon beringin raksasa. Senyum seorang pemburu yang telah berhasil masuk ke dalam sarang mangsanya.

Jaringnya kini mulai ia tenun.

Mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan pasar yang ramai dan memasuki kawasan yang lebih tertata, kawasan tempat tinggal para perwira dan bangsawan rendahan. Rumah-rumahnya lebih besar, dengan halaman yang luas dan pagar kayu yang tinggi. Suasananya lebih tenang, hanya sesekali terdengar ringkik kuda dari istal atau suara benturan senjata dari halaman tempat para prajurit berlatih.

Akhirnya, Kebo Ijo menghentikan kudanya di depan sebuah rumah yang cukup besar, namun tidak semewah rumah-rumah di sekitarnya. Rumah itu tampak bersih dan terawat, memancarkan aura disiplin yang sama seperti pemiliknya.

"Kita sudah sampai," kata Kebo Ijo sambil turun dari kudanya. "Ini kediamanku. Dan istal kuda ada di belakang."

Ia menyerahkan tali kekang kudanya sepenuhnya pada Arok. "Namanya Guntur. Ia kuda yang cerdas tapi juga sensitif. Ia tidak suka diperlakukan dengan kasar. Rawat dia dengan baik. Beri dia makan rumput pilihan dan air yang bersih. Mandikan dia. Dan pastikan kandangnya selalu bersih dari kotoran. Mengerti?"

"Sendika dawuh, Ndara," jawab Arok dengan patuh. Ia menepuk leher kuda itu dengan lembut, dan anehnya, kuda yang biasanya waspada pada orang asing itu tampak tenang di bawah sentuhan Arok. Kebo Ijo memperhatikan hal itu dengan sedikit rasa kagum.

"Tempat tinggalmu ada di barak belakang, bersama para abdi yang lain. Mintalah jatah makanmu dari kepala dapur. Jangan membuat masalah, dan jangan berkeliaran di dalam rumah utama kecuali jika aku panggil. Laksanakan tugasmu dengan baik, dan kau akan hidup tenang di sini."

Setelah memberikan perintah-perintah itu, Kebo Ijo melangkah masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Arok sendirian di halaman bersama Guntur.

Arok menatap punggung perwira itu hingga menghilang di balik pintu. Lalu ia menatap kuda di sampingnya, dan menatap sekelilingnya. Inilah dunianya yang baru. Sebuah halaman yang luas, sebuah istal, dan sebuah barak di belakang. Ini adalah titik awalnya. Dari sini, ia harus mulai menenun jaringnya.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencium aroma baru di sekitarnya. Bukan lagi aroma hutan, melainkan aroma jerami kering, keringat kuda, dan aroma samar dari masakan yang tercium dari dapur. Ia menuntun Guntur menuju istal di belakang rumah. Di sana, ia melihat beberapa abdi lain yang sedang bekerja. Mereka meliriknya dengan tatapan ingin tahu, menilainya sebagai orang baru. Arok hanya menunduk, tidak membalas tatapan mereka, dan langsung mulai bekerja.

Ia membersihkan kandang kuda dengan teliti, membuang jerami yang kotor dan menggantinya dengan yang baru. Ia mengambil air dari sumur, dan memandikan Guntur dengan sabar. Ia menyikat bulu kuda itu hingga mengkilap. Ia melakukan semuanya dengan konsentrasi penuh, seolah merawat kuda adalah satu-satunya tujuan hidupnya. Ia tahu, ia sedang diamati. Bukan hanya oleh para abdi lain, tetapi mungkin juga oleh mata-mata tak terlihat. Kesempurnaan dalam tugasnya yang paling rendah adalah topeng terbaiknya.

Saat senja mulai turun, dan ia telah menyelesaikan semua tugasnya, ia duduk di sudut istal yang gelap, memakan jatah makanannya yang hanya berupa nasi jagung dan sayur lodeh. Dari posisinya, ia bisa mendengar percakapan para abdi lain. Mereka membicarakan kekejaman para prajurit di gerbang, kebaikan hati Ndara Kebo Ijo, dan desas-desus terbaru dari dalam istana.

Arok didn't join in the conversation. He simply listened intently, as Lohgawe had taught him. His wide ears were now working, filtering every bit of information, no matter how small.

The first thread of her web has been successfully spun. The journey is still long and fraught with danger. But the spider has found its comfortable corner in the dragon's lair, and it will wait with infinite patience.

⭐⭐⭐🇮🇩🇮🇩⭐⭐⭐

Continued CHAPTER 08


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.